Didi Rasidi

Bagi sebagian orang, membuat diorama dimulai sebagai proyek penuh gairah. Bagi yang lain, ini adalah campuran antara rasa ingin tahu, dorongan kreatif—dan jujur saja—cara agar tetap produktif saat hari-hari sedang sepi. Begitulah awal perjalanan seniman diorama ini dimulai.

Kembali pada tahun 2018, saat menjalankan kafe di musim yang sepi, muncul ide untuk membuat miniatur. Hanya iseng. “Saya cuma bikin tiga diorama waktu itu,” katanya. “Nggak berlanjut juga. Cuma buat ngisi waktu.” Salah satu karya awalnya adalah miniatur Gunung Bromo, meskipun sayangnya rusak saat disimpan di garasi—ya, itulah risiko proyek yang dibuat sekadar iseng!

Namun segalanya berubah di awal tahun 2022. Setelah bergabung dengan sebuah grup diorama di Facebook, dia mulai menekuninya dengan serius—dan sejak itu tidak pernah menoleh ke belakang. Karya pertama setelah benar-benar serius? Sebuah diorama jalanan dengan deretan pohon, yang akhirnya dibeli oleh kolektor dari Malaysia. Bukan comeback yang buruk, bukan?

🎨 Dari Kuas ke Foam Board

Meskipun tidak memiliki latar belakang formal dalam desain atau arsitektur, seniman ini membawa sudut pandang seorang pelukis ke setiap karyanya. “Saya belajar semuanya dari YouTube dan teman-teman,” katanya. “Karena saya juga hobi melukis, bikin diorama itu rasanya jadi perpanjangan yang alami dari hobi itu.”

Kini, sebagian besar karyanya adalah pesanan khusus. Klien biasanya mengirimkan foto referensi atau menjelaskan tema yang mereka inginkan. Seniman ini kemudian mulai membuat sketsa, dan setelah disetujui, proses pembangunan pun dimulai. Meski begitu, tidak semua karyanya berdasarkan pesanan. Ia juga membuat diorama bertema lokal, seperti Jl. Braga, suasana pedesaan, hingga air terjun—dengan referensi dari Google Maps dan berbagai gambar daring.

🛠️ Material Nyata untuk Realisme

Keajaiban terletak pada material yang digunakan. Untuk struktur bangunan, ia mengandalkan PVC foam. Pasir digunakan untuk memberikan tekstur jalan, sementara gypsum dan styrofoam membentuk tebing dan kontur tanah. Kawat tembaga, busa, dan serbuk kayu digunakan untuk membuat pohon yang tampak hidup. Semua dipasang di atas papan kayu dan dihidupkan lewat detail dan kesabaran.

“Saya lebih suka membuat diorama yang realistis,” jelasnya. “Walaupun butuh waktu lebih lama, saya senang bisa fokus ke detail-detail kecilnya.”

❤️ Miniatur Penuh Makna

Dari semua karya yang pernah dibuat, yang paling berkesan adalah diorama Jl. Braga. “Yang satu itu punya tempat khusus di hati saya—karena mengingatkan masa-masa pacaran dulu sama istri,” katanya sambil tersenyum. Kenangan pribadi yang terwujud lewat seni—itulah yang membuat diorama jadi lebih dari sekadar model skala kecil.

Meskipun sebagian besar aksesorinya dibuat sendiri, beberapa bagian dicetak 3D dan dibeli dari toko online. Namun sebagian besar pengerjaan dilakukan secara manual dari awal hingga akhir.

🇮🇩 Dunia Diorama Indonesia yang Kian Berkembang

Bagaimana dengan dunia diorama dan diecast di Indonesia? Menurutnya, saat ini sedang berkembang pesat. “Banyak komunitas baru bermunculan, brand diecast juga makin beragam, dan banyak kreator lokal yang kualitas karyanya benar-benar meningkat,” ujarnya. “Jujur saja, karya kita banyak yang udah setara dengan seniman internasional.”

Ia berharap industri ini bisa terus tumbuh dari segi kualitas dan kuantitas, serta makin banyak pengakuan dan apresiasi terhadap talenta lokal. “Dukungan dari kolektor diecast dan para penghobi itu penting banget untuk semangat kami sebagai seniman.”

🔨 Apa Selanjutnya?

Saat ini, ia sedang mengerjakan diorama bertema lokal yang baru, dan sudah mencapai sekitar 50% progress. Seperti biasa, diorama ini penuh dengan detail, cerita, dan sepenuh hati.